Monday, July 12, 2010

Mengkritisi Dan Memperbandingan UU No 35/ 2009 Tentang Narkotika Dengan Undang-Undang Terdahulu



Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di suatu bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

Genderang perang dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. 

Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada UU N0.35 tahun 2009 dibandingkan dengan UU terdahulu, adalah pada penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan subtansi antara UU No.22/1997 dengan UU No.35/2009 antara lain pada:

1. Hal pembatasan penyimpanan

Masyarakat tidak diperbolehkan/ Penyimpanan narkotika untuk jenis dan golongan apapun hanya diperbolehkan terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun.

Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal. Hal ini membuka black market Narkoba semakin besar dan pada gilirannya semakin menjadikan Indonesia dilirik sebagai potensial marketing bagi produsen dan distributor lama dan baru.

2. Hal Rehabilitasi dan Pengobatan

Pada UU Terdahulu, Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah. Melalui UU No. 35/2009, kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan. Para pecandu mempunyai kewajiban SwaRehabilitasi medis dan rehabilitasi social.dimana para pecandu narkotika diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.

Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri. Pertanyaannya, apakah kategori tempat pihak yang melakukan rehabilitasi medis dan social termasuk pada lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu?

3. Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang diemban Badan Narkotika Nasional (BNN)

Porsi besar bagi BNN diberikan oleh UU No. 35/2009. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika merupakan salah satunya. Selain itu BNN juga dapat memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat.

Selain dari pada itu, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam pemberantasan narkotika.

Kewenangan besar diberikan kepada BNN, khususnya dalam kapasitas BNN sebagai penyidik tentunya menimbulkan pertanyaan, apakah hal ini karena penilaian terhadap pihak Polri dalam melakukan pengusutan dianggap belum maksimal, sehingga kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan juga kepada BNN?

Porsi besar atas kewenangan BNN seperti dalam hal melakukan penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik Polri akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan Polri.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih dan dalam undang-undang No.35 tahun 2009 juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan ( wiretapping ), teknik pembelian terselubung ( under cover buy ) dan teknik penyerahan yang diawasi ( controlled delevery ) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

4. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika

Kata “dapat” pada pasal 103 ayat 1 UU No.35/2009 untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Selain itu Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Tentunya pertanyaan yang timbul adalah:

• Apakah seorang Hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi, kata “dapat” harus digunakan acuan secara mutlak hakim?

• Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?


5. Peran Serta Masyarakat

Selain Polri ,BNN dan Penegak Hukum lainnya, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Peran serta masyarakat yang terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hal ini menimbulkan afraid yang cenderung mengarah pada suatu ketakutan tersendiri disalahgunakan oknum masyarakat .

Namun dalam UU ini berbanding terbalik pada hal hak masyarakat untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika yang tidak diatur secara jelas dan tersurat.

6. Ketentuan Pidana

Pendekatan yang dipergunakan dalam UU No.35/2009 adalah pendekatan pidana, dimana pendekatan pidana digunakan sebagai upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini terlihat pada ketentunan pidana yang tercantum pada pasal pasal pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang ada dalam UU ini. Hal ini menimbulkan kritisasi dan debatebel tentang Kecenderungan kriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dalam undang-undang ini. Hal tersebut didukung dengan metafora BNN menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepada masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika.

Apabila kita sepakat untuk mencermati lebih dalam lagi ada beberapa lubang kritisi untuk menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut:

a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan Dalam Tindak Pidana narkotika

Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan. Hal ini berpotensi menjerat orang utk dijadikan tersangka dalam tindak pidana narkotika yang tidak sengaja ,baik karena “dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurang-tahuan atas bentuk jenis narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan seperti: menerima titipan barang dari orang lain untuk diantar kesuatu tempat dan tanpa sepengetahuannya didalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan, menerima paket dari pos dan kondisi lainnya

b. Penggunaan sistem pidana minimal

Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.


7. Kriminalisasi bagi orang tua dan masyarakat.

Adanya ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) pada UU No.35/2009 bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.

Undang-undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Artinya undang-undang ini juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. Tentunya potensi kesulitan akan muncul pada saat Penerapannya, karena biasanya pasal ini digunakan untuk pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga menjadi ancaman bagi para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.

Ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil terdapat pada ketentuan peran serta masyarakat yang diatur pada BAB XIII dimana dalam ketentuan bab tersebut masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika.

8. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai.

Dalam Undang-undang pidana lain ada pembedaan punishment antara suatu tindak pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai (percobaan). Sedangkan UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

Demikian beberapa kritisi terhadap UU No.35/2009 dengan perbandingan pada UU No.22/1997 , ekspektasi besar terhadap hasil revisi Undang-undang Narkotika dapat dipergunakan secara efektif, kridibel, professional dan proporsional dalam penerapannya sehingga P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan Peredaran gelap narkoba) di Indonesia dapat berjalan sebagaimana yang kita harapkan untuk menuju INDONESIA BEBAS NARKOBA pada tahun 2015.

Sumber: http://my.opera.com/Kurniawanwp97/blog/2010/07/12/mengkritisi-dan-memperbandingan-uu-no-35-2009-tentang-narkotika-dengan-undang

No comments:

Post a Comment