Friday, October 8, 2010

A Simple Case of “Do the Crime, Do the Time”?

Kelly Buchanan

People who try to bring illegal drugs into any country are clearly taking a high risk in order to obtain the returns they seek.  In some countries, including a number in Southeast Asia, the stakes are very high indeed, as those caught with drugs may face the death penalty or a considerable number of years in prison.  Most people are aware of this (there have even been movies about it), but just last week I read a story about yet another Australian citizen facing drug charges in Indonesia after being caught at a Bali airport with nearly four pounds of crystal methamphetamine.

Wednesday, September 8, 2010

Membela Perkara Narkotika Bagian II

Anggara Suwahju

Buat saya, secara pribadi, UU 35/2009 tentang Narkotika ini jahat sekali. UU ini dapat dikatakan adalah sapu jagat dari politik hukum negara yang memusuhi narkotika akan tetapi yang akan banyak terkena dari kebijakan ini adalah orang – orang miskin yang bisa jadi berada di tempat dan waktu yang salah ataupun orang – orang yang menjadi pengguna narkotika.


Monday, July 12, 2010

Mengkritisi Dan Memperbandingan UU No 35/ 2009 Tentang Narkotika Dengan Undang-Undang Terdahulu



Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di suatu bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama.

Genderang perang dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. 

Tuesday, June 22, 2010

PROSES KRIMINALISASI MASYARAKAT

NM. WAHYU KUNCORO, S

Pergerakan komunitas pecandu NAPZA yang diawali dengan kesadaran diri para pecandu akan hak-hak asasinya sebagai manusia untuk lebih diperhatikan oleh segenap komponen masyarakat dan Pemerintah telah membentuk opini publik yang jelas dan tegas bahwasanya Pecandu Napza adalah korban.

Korban dalam opini tersebut bukanlah korban dalam arti mereka, para pecandu mengingkari atas kesalahan perbuatannya mengkonsumsi Napza tersebut (Self victimizating victims). Yang dimaksud korban dalam opini tersebut, pecandu adalah Korban karena kebijakan Pemerintah yang mengkriminalkan mereka sebagai pelaku kejahatan. Korban stigmasisasi dari masyarakat yang sesungguhnya timbul karena masyarakat tidak pernah diberikan informasi dan pembelajaran publik tentang NAPZA yang jelas dan yang terakhir, Pecandu adalah korban karena rehabilitasi yang sesungguhnya merupakan kebutuhannya untuk keluar dari jeratan NAPZA itu sendiri ternyata tidak terpenuhi oleh Pemerintah.

Interaksi antar aparatur penegak hukum dalam Upaya Pemberantasan NAPZA Ilegal harus diakui telah menimbulkan penyimpangan hubungan sosial berupa kriminalisasi yang khas. Yang tidak hanya mengkriminalkan pecandu NAPZA tetapi juga telah mengkriminalkan masyarakat itu sendiri. Hal ini menghasilkan jenis-jenis kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan lain yang sebelumnya telah dikenal, sebagaimana ungkapan kejahatan merupakan produk dari masyarakat sendiri (crime is a product of society its self).

Bentuk kriminalisasi yang dialami masyarakat adalah seperti mengupayakan ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) bagi Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan anaknya yang pecandu kepihak berwajib (Pasal 86 ayat 1 UU No. 22/97). Sementara Pasal 88 mengatur pula tentang ancaman bagi Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan bagi Keluarganya yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Inilah awal bentuk kriminalisasi masyarakat dalam kebijakan Napza Ilegal.

Karena khawatir akan mendapat ancaman pidana ditambah minimnya sosialisasi bagi masyarakat tentang hak-hak pecandu pada akhirnya masyarakat lebih memilih meng-kriminal-kan para pecandu. Akhirnya, pecandu NAPZA semakin terpuruk dan termarginalkan oleh masyarakat itu sendiri. Mereka para pecandu NAPZA akhirnya harus menerima stigmasisasi yang negatif, pelecehan-pelecehan dan bentuk-bentuk kekerasan yang lain. Jika peng-kriminal-an tersebut dibiarkan maka sangat mungkin, kelak suatu saat nanti ada gerakan “Genosida atau genosid” bagi para Pecandu.

Perkembangan kejahatan akibat kebijakan kriminalisasi pecandu NAPZA saat ini, disadari atau tidak disadari, telah merasuk diseluruh komponen lapisan masyarakat. Bentuk kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat akibat kebijakan kriminalisasi pecandu NAPZA yang ada antara lain pelecehan seksual terhadap pecandu NAPZA perempuan dan penghinaan atau pencemaran nama baik atas diri masing-masing pecandu.

Berdasarkan kenyataan tersebut diharapkan ada perubahan pandangan para pembuat kebijakan tentang pecandu NAPZA. Penyalahgunaan NAPZA apapun bentuknya memang terlarang dan harus dilarang tapi tidak sepatutnya hak-hak para pecandu untuk memperoleh hidup yang lebih baik menjadi terlarang pula. Untuk itu perlu suatu ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini hukum pidana, yang mampu menjangkau perlindungan hak-hak para pecandu NAPZA. Penyusunan suatu perundang-undangan pidana untuk menanggulangi kejahatan penyalahgunaan NAPZA tidaklah mudah mengingat terus berkembangnya NAPZA itu sendiri, untuk itu suatu kajian hukum mendalam tentang kompleksitas kriminalisasi menjadi relevan dan penting untuk dilakukan.

http://advokatku.blogspot.com

Wednesday, May 19, 2010

Kado Manis Untuk Pecandu Narkotika

Anggara Suwahju
Pecandu Narkotika di Indonesia seringkali mengalami stigmatisasi sehingga harus menerima perlakuan sebagaimana layaknya penjahat kelas berat.
Dengan diundangkannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga tidak menjawab persoalan dari Pecandu Narkotika. Dalam UU 35/2009 Pecandu Narkotika orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. 

Tuesday, April 27, 2010

VONIS REHABILITASI BAGI KORBAN NAPZA …. MUNGKIN KAH ?

NM. WAHYU KUNCORO, SH
Mengikuti dan memahami issue tentang “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban” membuat saya tergelitik untuk mengetahui lebih dalam mengenai apa dan mengapa issue tersebut. Keinginan tersebut lebih tergelitik ketika bahwa pada kenyataan sistem hukum dan “mindset” para penegak hukum dinegara kita menganggap bahwasanya pengguna NAPZA merupakan pelanggaran hukum. Jelas-jelas ini merupakan 2 (dua) pemahaman yang saling bertolak belakang.

Penggiat atau aktivis LSM berdalih pada pemahaman, bahwa pecandu adalah korban karena sesungguhnya negara melalui peraturan hukumnya telah mengatur dan mengupayakan adanya vonis rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1997 tentang narkotika. Hal ini masih ditambah lagi pemahaman, bahwa pada dasarnya, pengguna narkoba memiliki penyakit yang disebut dengan adiksi, yakni ketergantungan pada narkoba. Singkatnya, mereka menuntut, supaya dalam perkara penyalahgunaan narkoba dimana terdakwanya adalah seorang pecandu, vonis rehabilitasi lebih diutamakan dibandingkan vonis penjara. Alasan dan pemahaman tersebut banyak di-amin-in oleh pakar-pakar hukum maupun mereka yang berempati terhadap kasus-kasus narkoba dimasyarakat. Faktanya, penjara memang bukan tempat yang tepat bagi para pecandu. Pemenjaraan yang bersifat mengurung, mengungkung dan menjauhkan para pecandu dari asimilasi kehidupan sosial malah lebih menjatuhkan mental mereka sebagai “kriminal” yang pada akhirnya, kemungkinan besar, dalam kehidupan penjara itulah para pecandu akan menjadi lebih “parah”.

Pemahaman serta issue diatas tampaknya harus berbenturan dengan sistem hukum pidana yang bersifat mengatur dan pemahaman para pelaksana penegak hukum di negeri ini yang berdasarkan prinsip penegakkan hukum dan keadilan. Atas dasar pandangan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) maka negara wajib mengembalikan keseimbangan hukum atas pelanggaran hukum yang ada dengan menindak tegas bagi pelanggarnya guna menegakkan keadilan. Artinya, hukuman merupakan suatu hal yang mutlak bagi si pelanggar hukum guna mencegah, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama.

Hakim, dalam konteks tugasnya, menjalankan keadilan demi hasrat dari para pencari keadilan tampaknya tidak mengenal bahwa “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban”. Hakim lebih memposisikan dirinya dalam “Formalistis Legal Thinking” sehingga rasanya sulit memahami issue yang dikembangkan aktivis dan mereka yang berempati pada masalah Narkotika, yang jelas – jelas dalam issue tersebut memposisikan 2 subjek hukum berbeda yakni antara “pelanggar” dan “korban”.

Karena dalam hukum pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran materiel maka putusan hakim pun kelak didasarkan pada hukum materiel. Inilah masalahnya, bagaimana mungkin menghukum pelanggar hukum yang sebenarnya si pelanggar tersebut adalah korban dari kejahatan itu sendiri ? Bagaimana caranya meng-“giring” agar hakim dapat menjatuhkan putusan rehabilitasi bagi pengguna Napza ?

Bahwasanya, prinsip pengambilan keputusan oleh hakim harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti :

1. Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah;
2. Kebebasan hakim;
3. Mengadili secara kasuistik;
4. Indubioproreo, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan (dalam kesangsian demi tertuduh).

Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan hakim merupakan prinsip yang paling dominan, bahkan dapat dikatakan, merupakan kekuasaan absolut dari hakim itu sendiri. Hal ini sebagaimana didukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Berdasarkan prinsip mengadili secara kasuistik, jika seorang terdakwa pecandu NAPZA menghendaki putusan dalam bentuk rehabilitasi maka sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti ia harus membuktikan dan meyakinkan hakim bahwasanya memang patut diberikan putusan rehabilitasi (pasal 183 KUHAP). Bagi pecandu NAPZA yang sedang dalam atau telah menjalanin perawatan dan pengobatan namun mengulangi perbuatannya tersebut tentunya tidak terlalu bermasalah. Dengan bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah maka keyakinan hakim akan timbul bahwasanya memang si pecandu tersebut patut divonis (hukuman) masuk ke panti rehabilitasi. Bagaimana bagi pecandu NAPZA yang memperoleh NAPZA tersebut secara tidak sah ?

Tidak adanya pedoman pemidanaan dalam UU Narkotika maupun Psikotropika, mau tidak mau, selalu memposisikan pecandu sama dengan terdakwa penjual dan atau bandar. Padahal dalam hitungan perkara, pecandu dan pengedar sangat jauh perbedaannya. Pecandu lebih mengkonsumsikan NAPZA untuk dirinya sendiri sedangkan pengedar tentunya ada motif ekonomis mengapa dia menjadi pengedar. Hakim seharusnya memahami perbedaan tersebut. Apakah ada motif ekonomis dari terdakwa pecandu NAPZA tersebut. Jika tidak ada motif ekonomis maka sudah seharusnya vonis yang dijatuhkan adalah vonis rehabilitas bukan vonis penjara.

http://advokatku.blogspot.com

Monday, April 5, 2010

MIMPI PECANDU/ KORBAN NAPZA YANG TERWUJUD

NM. WAHYU KUNCORO, SH

17 Maret 2009, setelah 12 (dua belas) tahun berlakunya Undang-Undang psikotropika dan narkotika, setelah melewati masa-masa pro dan kontra tentang pentingnya putusan Pengadilan tentang rehabilitasi bagi para pecandu/ korban Napza, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran tentang pelaksanaan dan penerapan putusan rehabilitasi.

Harus diakui, bahwa tujuan pemidanaan dalam UU No. 5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997 yakni memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, dengan menetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, telah salah sasaran. Dikatakan telah sasaran karena penerapan pidana tersebut tidak memandang tingkat kejahatan dari subjek dan objek yang dilanggar. Polisi, Jaksa dan Hakim lebih menyamaratakan antara pemakai, pengedar dan bandar dengan suatu hukuman pidana yakni pidana penjara.

Penerapan hukuman pidana penjara bagi para pecandu/ korban Napza, sekali lagi, harus diakui telah gagal untuk menekan tindak kejahatan penyalagunaan NAPZA. Mereka yang seharusnya masih bisa dirawat dan dipulihkan atas kecanduannya pada NAPZA, akhirnya malah lebh parah, baik ketergantungannya pada NAPZA atau tingkat kejahatannya. Ini tidak lepas dari idiom di masyarakat bahwa “penjara tidak lebih dari sekolah bagi para penjahat pemula”.

Ketentuan tentang putusan rehabilitasi bagi para pemakai/pecandu/korban NAPZA diatur dalam undang-undang. Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika secara jelas menyatakan, pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika “dapat” diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sedangkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur sebagai berikut:

(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika “dapat”:

a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Bagi Polisi, Jaksa maupun Hakim, pengertian kata “dapat” dalam pasal-pasal di kedua undang-undang, tidak lebih merupakan kata diskresi hukum yang tidak mewajibkan penerapan rehabilitasi dalam perkara penyalahgunaan Napza. Para aparatur penegak hukum, lebih menilai pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang-orang yang patut dihukum penjara. Akhirnya, mudah ditebak, lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun menjadi penuh dan overload.

Kembali pada pokok pembahasan, yakni tentang diterbitkannya SEMA No. 7 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai NAPZA kedalam panti terapi dan rehabilitasi diharapkan menjadi cikal bakal agar Polisi, Jaksa dan Hakim dapat kiranya benar-benar mengkategorikan dulu besar kecilnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan seorang tersangka/ terdakwa dalam perkara penyalahgunaan NAPZA.

Dalam SEMA tersebut, secara jelas dan tegas dikatakan bahwa putusan rehabilitasi diterapkan dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Pelaku tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai.
3. Adanya surat keterangan uji laboratoris bahwa pelaku adalah pengguna NAPZA.
4. Bukan residivis dalam kasus penyalahgunaan NAPZA.
5. Adanya surat keterangan dokter/ psikiater Pemerintah (bukan dokter praktek swasta).
6. Tidak ada bukti yang mengarah bahwa pelaku adalah pengedar/ bandar/ produsen NAPZA.

Ditegaskan pula dalam SEMA tersebut yakni tentang tempat perawatan dan rehabilitasi adalah Unit pelaksana teknis T & R BNN yang berada di LIDO – Bogor, RSKO, panti rehabilitasi DEPSOS RI dan UPTD, rumah sakit jiwa dan panti-panti rehabilitasi ketergantungan NAPZA yang dikelola masyarakat dengan ketentuan panti dimaksud telah terakreditasi oleh DEPKES atau DEPSOS.

Meskipun SEMA No. 7 Tahun 2009 tersebut adalah mimpi para pecandu yang menjadi kenyataan, tak ayal, masih meninggalkan suatu permasalahan yakni ditetapkannya Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat rehabilitasi dan pemulihan ketergantungan NAPZA. Perlu dipertanyakan secara phisikologis, apakah para pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang yang sakit jiwa?

Tuesday, March 30, 2010

Terlibat Narkoba, Siswa Dipecat


Bengkulu - Selain korupsi dan ilegal logging, bupati menyebut tidak ada toleransi bagi pelajar yang terlibat apalagi menjadi pemakai obat-obatan terlarang atau narkoba.

Saya sudah tegaskan kepada Diknas dan jajarannya. Kalau ada siswa yang ketahuan dan terbukti terlibat, lalu sampai pula kepada saya, maka saya akan minta siswa itu dikeluarkan dari sekolah.

Sunday, March 21, 2010

Lagi, Dua Siswa SMA Katolik Dikeluarkan

LUWUK - Dua siswa SMA Katolik Santo Yoseph Luwuk kembali dikeluarkan dari sekolah, karena terlibat memiliki obat penenang. Sebelumnya SMA Katolik Santo Yoseph juga mengeluarkan salah seorang siswa yang berinisial Ys, karena terlibat sebagai pengedar obat penenang jenis dekstro kepada puluhan siswa di sekolah tersebut.

Wednesday, March 17, 2010

Cegah Peredaran Narkoba Di Kalangan Pelajar; Dari Penyuluhan Hingga Dikeluarkan Dari Sekolah

YOGYAKARTA – Pencegahan peredaran narkoba di kalangan pelajar bukan hanya tanggung jawab aparat kepolisian tapi butuh sinergitas dari sekolah. Untuk mencegah hal itu sejumlah sekolah di Yogyakarta melakukan berbagai antisipasi, mulai dari sosialisasi, razia hingga memberi sanksi bagi siswa yang terbukti melakukan pelanggaran. Kini jajaran Poltabes Yogyakarta juga sedang membuat jadwal operasi keliling sekolah. Demikian dikatakan oleh beberapa pimpinan sekolah dan Kasat Narkoba Poltabes Yogyakarta Kompol Saiful Anwar SSos Sik yang ditemui KR secara terpisah, Senin (16/3).

Sunday, March 7, 2010

UU No. 35 Tahun 2009 Kriminalisasi Korban Narkoba ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana


Musri Nauli

Masih segar dalam ingatan kita tentang telah diperlakukan UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menggantikan UU No. 5 Tahun 1997 (lihat pasal 153 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009). UU ini diharapkan dapat menekan tingkat kejahatan narkotika yang setiap tahun naik terus menerus. 

Keinginan untuk memberantas peredaran narkotika haruslah didukung dan diberi apresiasi. Pembongkaran rumah-rumah yang terbukti membuat narkotika membuktikan bahwa persoalan narkotika tidak bisa dianggap remeh. Apabila waktu sebelumnya Indonesia yang merupakan pengguna narkotika (konsumen) kemudian pada 5 tahun lalu, Indonesia masih merupakan daerah transit peredaran narkotika namun sekarang sudah terbukti menjadi negara pembuat narkotika. Tayangan televisi masih sering menyiarkan tentang rumah-rumah yang secara nyata terbukti memproduksi narkotika.

Sunday, February 28, 2010

Why Indonesia Should Liberalize Its Drug Laws

Luc Loranhe




Indonesia is probably the country with the strictest anti-drug laws in the world.

In Indonesia, you don't have to be caught with any drugs to face a jail sentence of several years (which is almost a death sentence, as any person imprisoned for a considerable length of time will likely contract malaria, or HIV as a consequence of prison rape, or face other severe health problems).

Thursday, February 18, 2010

Drug law reform - A Global Snapshot


Sanji Gunasekara




The Law Commission’s current review of the Misuse of Drugs Act is a rare opportunity for New Zealand to drag its drug laws into the 21st century. Around the world, several other countries have also recently re-examined their drug laws. In this feature, Sanji Gunasekara reviews the global state of drug law reform and finds that, while there is a trend towards more public health-focused legislation, sometimes it is a case of one step forward, two steps back.