Tuesday, April 27, 2010

VONIS REHABILITASI BAGI KORBAN NAPZA …. MUNGKIN KAH ?

NM. WAHYU KUNCORO, SH
Mengikuti dan memahami issue tentang “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban” membuat saya tergelitik untuk mengetahui lebih dalam mengenai apa dan mengapa issue tersebut. Keinginan tersebut lebih tergelitik ketika bahwa pada kenyataan sistem hukum dan “mindset” para penegak hukum dinegara kita menganggap bahwasanya pengguna NAPZA merupakan pelanggaran hukum. Jelas-jelas ini merupakan 2 (dua) pemahaman yang saling bertolak belakang.

Penggiat atau aktivis LSM berdalih pada pemahaman, bahwa pecandu adalah korban karena sesungguhnya negara melalui peraturan hukumnya telah mengatur dan mengupayakan adanya vonis rehabilitasi sebagaimana diatur dalam pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1997 tentang narkotika. Hal ini masih ditambah lagi pemahaman, bahwa pada dasarnya, pengguna narkoba memiliki penyakit yang disebut dengan adiksi, yakni ketergantungan pada narkoba. Singkatnya, mereka menuntut, supaya dalam perkara penyalahgunaan narkoba dimana terdakwanya adalah seorang pecandu, vonis rehabilitasi lebih diutamakan dibandingkan vonis penjara. Alasan dan pemahaman tersebut banyak di-amin-in oleh pakar-pakar hukum maupun mereka yang berempati terhadap kasus-kasus narkoba dimasyarakat. Faktanya, penjara memang bukan tempat yang tepat bagi para pecandu. Pemenjaraan yang bersifat mengurung, mengungkung dan menjauhkan para pecandu dari asimilasi kehidupan sosial malah lebih menjatuhkan mental mereka sebagai “kriminal” yang pada akhirnya, kemungkinan besar, dalam kehidupan penjara itulah para pecandu akan menjadi lebih “parah”.

Pemahaman serta issue diatas tampaknya harus berbenturan dengan sistem hukum pidana yang bersifat mengatur dan pemahaman para pelaksana penegak hukum di negeri ini yang berdasarkan prinsip penegakkan hukum dan keadilan. Atas dasar pandangan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) maka negara wajib mengembalikan keseimbangan hukum atas pelanggaran hukum yang ada dengan menindak tegas bagi pelanggarnya guna menegakkan keadilan. Artinya, hukuman merupakan suatu hal yang mutlak bagi si pelanggar hukum guna mencegah, mempertakutkan, mempertahankan tata tertib kehidupan bersama.

Hakim, dalam konteks tugasnya, menjalankan keadilan demi hasrat dari para pencari keadilan tampaknya tidak mengenal bahwa “pengguna NAPZA termasuk pecandu adalah korban”. Hakim lebih memposisikan dirinya dalam “Formalistis Legal Thinking” sehingga rasanya sulit memahami issue yang dikembangkan aktivis dan mereka yang berempati pada masalah Narkotika, yang jelas – jelas dalam issue tersebut memposisikan 2 subjek hukum berbeda yakni antara “pelanggar” dan “korban”.

Karena dalam hukum pidana pada hakekatnya adalah mencari kebenaran materiel maka putusan hakim pun kelak didasarkan pada hukum materiel. Inilah masalahnya, bagaimana mungkin menghukum pelanggar hukum yang sebenarnya si pelanggar tersebut adalah korban dari kejahatan itu sendiri ? Bagaimana caranya meng-“giring” agar hakim dapat menjatuhkan putusan rehabilitasi bagi pengguna Napza ?

Bahwasanya, prinsip pengambilan keputusan oleh hakim harus didasarkan pada prinsip-prinsip seperti :

1. Menghukum yang bersalah membebaskan yang tidak bersalah;
2. Kebebasan hakim;
3. Mengadili secara kasuistik;
4. Indubioproreo, dalam menjatuhkan putusan hakim harus disertai keyakinan (dalam kesangsian demi tertuduh).

Dari beberapa prinsip-prinsip di atas, keyakinan hakim merupakan prinsip yang paling dominan, bahkan dapat dikatakan, merupakan kekuasaan absolut dari hakim itu sendiri. Hal ini sebagaimana didukung Pasal 6 ayat 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN yang menyatakan, “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Berdasarkan prinsip mengadili secara kasuistik, jika seorang terdakwa pecandu NAPZA menghendaki putusan dalam bentuk rehabilitasi maka sekurang-kurangnya dengan 2 (dua) alat bukti ia harus membuktikan dan meyakinkan hakim bahwasanya memang patut diberikan putusan rehabilitasi (pasal 183 KUHAP). Bagi pecandu NAPZA yang sedang dalam atau telah menjalanin perawatan dan pengobatan namun mengulangi perbuatannya tersebut tentunya tidak terlalu bermasalah. Dengan bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah maka keyakinan hakim akan timbul bahwasanya memang si pecandu tersebut patut divonis (hukuman) masuk ke panti rehabilitasi. Bagaimana bagi pecandu NAPZA yang memperoleh NAPZA tersebut secara tidak sah ?

Tidak adanya pedoman pemidanaan dalam UU Narkotika maupun Psikotropika, mau tidak mau, selalu memposisikan pecandu sama dengan terdakwa penjual dan atau bandar. Padahal dalam hitungan perkara, pecandu dan pengedar sangat jauh perbedaannya. Pecandu lebih mengkonsumsikan NAPZA untuk dirinya sendiri sedangkan pengedar tentunya ada motif ekonomis mengapa dia menjadi pengedar. Hakim seharusnya memahami perbedaan tersebut. Apakah ada motif ekonomis dari terdakwa pecandu NAPZA tersebut. Jika tidak ada motif ekonomis maka sudah seharusnya vonis yang dijatuhkan adalah vonis rehabilitas bukan vonis penjara.

http://advokatku.blogspot.com

Monday, April 5, 2010

MIMPI PECANDU/ KORBAN NAPZA YANG TERWUJUD

NM. WAHYU KUNCORO, SH

17 Maret 2009, setelah 12 (dua belas) tahun berlakunya Undang-Undang psikotropika dan narkotika, setelah melewati masa-masa pro dan kontra tentang pentingnya putusan Pengadilan tentang rehabilitasi bagi para pecandu/ korban Napza, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran tentang pelaksanaan dan penerapan putusan rehabilitasi.

Harus diakui, bahwa tujuan pemidanaan dalam UU No. 5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997 yakni memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, dengan menetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimum, telah salah sasaran. Dikatakan telah sasaran karena penerapan pidana tersebut tidak memandang tingkat kejahatan dari subjek dan objek yang dilanggar. Polisi, Jaksa dan Hakim lebih menyamaratakan antara pemakai, pengedar dan bandar dengan suatu hukuman pidana yakni pidana penjara.

Penerapan hukuman pidana penjara bagi para pecandu/ korban Napza, sekali lagi, harus diakui telah gagal untuk menekan tindak kejahatan penyalagunaan NAPZA. Mereka yang seharusnya masih bisa dirawat dan dipulihkan atas kecanduannya pada NAPZA, akhirnya malah lebh parah, baik ketergantungannya pada NAPZA atau tingkat kejahatannya. Ini tidak lepas dari idiom di masyarakat bahwa “penjara tidak lebih dari sekolah bagi para penjahat pemula”.

Ketentuan tentang putusan rehabilitasi bagi para pemakai/pecandu/korban NAPZA diatur dalam undang-undang. Pasal 41 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika secara jelas menyatakan, pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika “dapat” diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Sedangkan Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur sebagai berikut:

(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika “dapat”:

a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Bagi Polisi, Jaksa maupun Hakim, pengertian kata “dapat” dalam pasal-pasal di kedua undang-undang, tidak lebih merupakan kata diskresi hukum yang tidak mewajibkan penerapan rehabilitasi dalam perkara penyalahgunaan Napza. Para aparatur penegak hukum, lebih menilai pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang-orang yang patut dihukum penjara. Akhirnya, mudah ditebak, lembaga pemasyarakatan dari tahun ke tahun menjadi penuh dan overload.

Kembali pada pokok pembahasan, yakni tentang diterbitkannya SEMA No. 7 Tahun 2009 tentang menempatkan pemakai NAPZA kedalam panti terapi dan rehabilitasi diharapkan menjadi cikal bakal agar Polisi, Jaksa dan Hakim dapat kiranya benar-benar mengkategorikan dulu besar kecilnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan seorang tersangka/ terdakwa dalam perkara penyalahgunaan NAPZA.

Dalam SEMA tersebut, secara jelas dan tegas dikatakan bahwa putusan rehabilitasi diterapkan dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Pelaku tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti satu kali pakai.
3. Adanya surat keterangan uji laboratoris bahwa pelaku adalah pengguna NAPZA.
4. Bukan residivis dalam kasus penyalahgunaan NAPZA.
5. Adanya surat keterangan dokter/ psikiater Pemerintah (bukan dokter praktek swasta).
6. Tidak ada bukti yang mengarah bahwa pelaku adalah pengedar/ bandar/ produsen NAPZA.

Ditegaskan pula dalam SEMA tersebut yakni tentang tempat perawatan dan rehabilitasi adalah Unit pelaksana teknis T & R BNN yang berada di LIDO – Bogor, RSKO, panti rehabilitasi DEPSOS RI dan UPTD, rumah sakit jiwa dan panti-panti rehabilitasi ketergantungan NAPZA yang dikelola masyarakat dengan ketentuan panti dimaksud telah terakreditasi oleh DEPKES atau DEPSOS.

Meskipun SEMA No. 7 Tahun 2009 tersebut adalah mimpi para pecandu yang menjadi kenyataan, tak ayal, masih meninggalkan suatu permasalahan yakni ditetapkannya Rumah Sakit Jiwa sebagai tempat rehabilitasi dan pemulihan ketergantungan NAPZA. Perlu dipertanyakan secara phisikologis, apakah para pemakai/ pecandu NAPZA adalah orang yang sakit jiwa?